SELAMAT DATANG

SALAM HANGAT BAGI PARA PENGUNJUNG BLOG ATLANTIKERS, DI DIRIKAN BULAN APRIL 2010, ADANYA BLOG INI TIDAK LAIN HANYALAH UNTUK MENJEMBATANI KOMUNITAS ANTAR ALUMNI BAIK YANG MASIH EXIS DI LINGKUP HMP MAUPUN YANG SUDAH BERLAYAR MENUJU REALITAS KEHIDUPAN YANG NYATA, SEBELUMNYA MOHON MAAF APABILA BLOG KAMI MASIH TERKESAN SLENGE'AN DAN APA ADANYA, WARNING!!! TINGGALKAN JEJAK YA HE,,HE,, THANKS YOUR VISITED ! !KAMI TUNGGU PARTISIPASI DARI PARA MASTERS BLOG UNTUK BERGABUNG OKEY ! ! ! !

translator

English Arabic French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Chinese Simplified
Welcome Myspace Comments

Jumat, 07 Mei 2010

Pluralisme Agama di Indonesia

Oleh sofiyan N.J
Seseorang tak bisa
dikriminalisasi karena yang
bersangkutan memilih sekte dan
tafsir tertentu dalam beragama.
Kementerian Agama tak boleh
mengintervensi dan menjadi
hakim yang bisa memutus
tentang sesat dan tidaknya
suatu tafsir dan ritual
peribadatan. Seseorang bisa
dikriminalisasi bukan karena
yang bersangkutan menjalankan
ritus peribadatan tertentu,
melainkan misalnya karena di
dalam ritual itu terdapat tindak
kriminal seperti kekerasan yang
merendahkan martabat
manusia. Banyak orang pesimis
dan putus pengharapan perihal
masa depan pluralisme agama di
Indonesia. Pesimisme ini biasanya
didasarkan pada beberapa
indikator utama. Pertama, telah
berpulangnya para tokoh
agama yang gigih tanpa lelah
memperjuangkan pluralisme,
sementara tokoh baru dengan
militansi yang sama dengan para
pendahulunya tak segera
matang dan dewasa.
Meninggalnya Abdurrahman
Wahid, Nurcholish Madjid, Eka
Darmaputra, TH Sumartana,
Mangunwijaya, Gedong Bagus
Oka, dan lain-lain tak jarang
dianggap sebagai pertanda
matinya pluralisme agama di
Indonesia. Di lingkungan umat
Islam, kepergian Almarhum Gus
Dur dipandang sebagai pukulan
telak bagi gerakan pluralisme.
Mereka berpendirian, dengan
wafatnya Gus Dur, maka langit
pluralisme akan kian kelam dan
buram. Kedua, terjadi surplus
kekerasan berbasis agama dan
teologi. Seperti dilansir the
WAHID Institute, Setara
Institute, CRCS UGM, dalam
laporan akhir tahun 2009
tentang indeks kebebasan
beragama dan kekerasan
berbasis agama, ditemukan
fakta tentang kian meratanya
kekerasan dan diskriminasi
terhadap (umat) agama dan
(pengikut) sekte tertentu.
Pelakunya pun sangat beragam,
mulai dari individu sampai
kelompok organisasi keagamaan
tertentu. Mulai dari
dipersulitnya ijin pendirian
rumah ibadah sampai pada
pembakaran dan penghancuran
rumah ibadah. Ada gereja yang
dibakar. Juga ada kelompok
Ahmadiyah yang hak-hak
sipilnya sampai sekarang masih
dirampas. Tak sedikit dari
mereka yang tinggal di tempat-
tempat pengungsian. Ketiga,
masih dipertahankanya sejumlah
kebijakan dan perundang-
undangan yang tak toleran
terhadap kelompok minoritas
dan agama-agama lokal. UU
PNPS/I/1965 yang mengandung
pasal diskriminatif itu hendak
dipertahankan oleh beberapa
tokoh agama yang bertahta
dalam organisasi keislaman
besar seperti NU dan
Muhammadiyah dan tak sedikit
juga dari kalangan akademisi
(perguruan tinggi). Alih-alih
dihapuskan, bahkan peraturan-
peraturan daerah yang bias
dan diskriminatif terus
bermunculan di beberapa
wilayah di Indonesia. Sebagai
generasi muda Islam, saya
berpendirian bahwa ketiga
faktor tersebut tak cukup
dijadikan alasan untuk pesimis
menatap masa depan pluralisme
agama di Indonesia. Ketiga
pokok soal tersebut
sebenarnya lebih merupakan
tantangan bagi pejuang
pluralisme agama untuk
mensolidkan dan mensinergikan
gerakan. Ada banyak hal yang
menyebabkan kita boleh optimis
dan berpengharapan tentang
cerahnya pluralisme agama di
Indonesia di masa-masa yang
akan datang. Memang benar
bahwa Gus Dur dan Pak Eka
sudah tidak ada, tapi pikiran-
pikiran pluralis keduanya sudah
terlembagakan ke dalam
berbagai institusi dan
diterjemahkan ke dalam
program-program yang lebih
terstruktur dan sistematis.
Misalnya ada Jaringan Islam
Liberal (JIL) Jakarta, MADIA
Jakarta, the WAHID Institute
Jakarta, ICRP Jakarta, ICIP
Jakarta, ICIP Jakarta, Dian-
Interfidei Yogyakarta, YPKM
Mataram, LK3 Banjarmasin,
Pusaka Padang, LAPAR Makasar,
Jakatarup Bandung dan lain-lain.
Beberapa hari lalu baru saja
terbentuk Forum Pluralisme
Indonesia, sebuah forum yang
dibentuk oleh sejumlah
intelektual muda lintas agama
untuk memperbanyak pangkalan
pendaratan pluralisme agama di
Indonesia. Kini sebenarnya
tokoh-tokoh muda yang gigih
memperjuangkan pluralisme
agama kian tersebar di sejumlah
daerah di Indonesia. Mereka
bekerja biasanya tanpa sorotan
kamera dan publisitas media,
sehingga tampak kurang
populer. Tapi, memperhatikan
kerja-kerja advokasi mereka
sangat mencengangkan. Melihat
mereka, saya cukup optimis
prihal gerakan pluralisme di
Indonesia. Selanjutnya, dalam
proses transisi menuju
demokrasi, sebagian negara
kerap tidak stabil dan mudah
goyah. Dalam konteks itu,
negara biasanya tak bisa
berperan secara efektif untuk
melinduangi setiap warganya
dari tindak ketidakadilan oleh
warga yang lain. Itulah yang kini
terjadi di Indonesia. Sejumlah
kekerasan berbasis agama tak
bisa segera dihentikan oleh
pemerintah (aparat kepolisian).
Pemerintah gamang untuk
bertindak dan menghukum
pelaku kekerasan berbasis
agama karena khawatir
dianggap anti-agama, persisnya
anti-Islam. Citra sebagai
pendukung agama (Islam) dan
sekte mayoritas inilah yang
tampaknya hendak ditampilkan
pemerintahan Yudhoyono, dalam
dua periode pemerintahannya.
Dia misalnya selalu memilih
menteri agama yang cenderung
tidak pluralis. Aparat kepolisian
pun tak sigap menangkap para
"preman berjubah" karena
takut divonis sebagai pelanggar
HAM atau pendukung
kemaksiatan. Polisi tak
dilengkapi dengan jaminan
undang-undang untuk
menghukum para pelaku
kekerasan agama. Kelak, ketika
transisi demokrasi ini sudah
berakhir, negara akan kembali
normal. Di situ kiranya tak ada
satu warga negara pun yang
hak-haknya boleh dirampas oleh
warga lain, termasuk hak untuk
memilih dan menjalankan ajaran
agama dan keyakinan. Bahwa
seseorang tak bisa
dikriminalisasi karena yang
bersangkutan memilih sekte dan
tafsir tertentu dalam beragama.
Kementerian Agama tak boleh
mengintervensi dan menjadi
hakim yang bisa memutus
tentang sesat dan tidaknya
suatu tafsir dan ritual
peribadatan. Seseorang bisa
dikriminalisasi bukan karena
yang bersangkutan menjalankan
ritus peribadatan tertentu,
melainkan misalnya karena di
dalam ritual itu terdapat tindak
kriminal seperti kekerasan yang
merendahkan martabat
manusia. Diakui bahwa sekarang
banyak bermunculan Perda-
Perda (bernuansa) syariat Islam.
Namun, kita tak boleh ciut nyali
dan berkesimpulan bahwa
diskriminasi agama yang
ditopang dengan struktur
negara atau pemerintah akan
dengan sendirinya bisa berjalan
efektif. Sejumlah riset dan
penelitian menemukan
kelemahan dan keterbatasan
dari Perda-Perda Syariat itu.
Bahkan di sejumlah daerah
banyak masyarakat sipil yang
menentang Perda-Perda
tersebut. Ibu-Ibu muslimah di
Bandah Aceh marah ketika
dirinya ditangkap karena
menggunakan celana ketat,
misalnya. Yakinlah bahwa sejauh
yang bisa dipantau, Perda-
Perda itu hanya proyek partai
politik demi sebuah kekuasaan.
Persis di situ partai-partai
politik salah melakukan
diagnosa. Bahwa dengan
membuat perda-perda syariat
itu, partai politik akan
mendulang banyak suara.
Padahal, berkali-kali pemilu yang
diselenggarakan di Indonesia
membutikan bahwa partai politik
yang menjual agama ke
khalayak tak pernah menang.
Bukan hanya dalam periode
dulu, namun juga dalam periode
sekarang. Sejumlah partai
berasas agama keok dalam
pemilihan umum. Saya yakin
bahwa ketika kesadaran
tentang tidak lakunya
berdagang agama dalam ranah
politik itu nanti muncul, semua
partai akan berbalik haluan.
Inilah yang kini terjadi misalnya
di PKS juga PPP. Sungguh warga
negara Indonesia makin cerdas.
Mereka tak mendasarkan
preferensi politiknya pada
sentimen primordial agama.
Berbagai survey menunjukkan
tentang matinya politik aliran di
Indonesia, dan pembunuhnya
adalah warga negara Indonesia
sendiri. Dengan alasan-alasan
itu, kita masih berhak untuk
optimis bahwa langit-langit
pluralisme agama di Indonesia
akan makin cerah. Bahwa ada
mendung yang sedikit
menggantung, iya. Tapi, yakinlah
bahwa mendung itu akan hilang
ditiup angin perubahan dan
pluralisme.
Di ambil dari atlantiker's fb

Tidak ada komentar: